SEJAK Direktorat Jenderal Olah Raga didirikan pada tahun 2001 di bawah Departemen Pendidikan Nasional, selama 4 tahun terakhir ini yang diupayakan ialah menata sistem pembinaan keolahragaan nasional. Penataan itu mencakup subsistem pendidikan jasmani (pendidikan olah raga), olah raga masyarakat (rekreasi) dan olah raga kompetitif untuk tujuan berprestasi. Ketiganya menyatu sebagai sebuah kesatuan.
Penataan dimaksudkan agar dapat dicapai manfaat yang optimal bagi segenap warga sesuai pesan Piagam Internasional Pendidikan Jasmani dan Olah Raga yang dideklarasikan oleh UNESCO, tahun 1978 di Paris. Piagam itu mengisyaratkan pendidikan jasmani dan olah raga sebagai hak asasi yang fundamental bagi setiap orang.
Jika diurut secara saksama, tujuan akhir pembinaan olah raga itu tidak lain untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Karena itu, Direktorat Jenderal Olah Raga sebagai institusi pemerintah bertanggung jawab untuk membangun sebuah tatanan berdasarkan analisis tentang beberapa komponen dari kesisteman yang perlu diatur sebaik-baiknya.
Manakala eksistensinya akan diganti kembali oleh Menteri Pemuda dan Olah Raga yang notabene bertanggung jawab untuk mengoordinasi dan merumuskan kebijakan umum nasional, pertanyaannya ialah apa strategi utama dan kemudian tujuan yang ingin dicapai dalam pembinaan olah raga?
Kita tak akan bergeser dari komitmen lama untuk menempatkan olah raga sebagai bagian integral dari pembangunan. Dengan demikian, olah raga ditempatkan bukan sekadar merespons tuntutan perubahan sosial, ekonomi, dan budaya, tetapi ikut bertanggung jawab untuk memberikan arah perubahan yang diharapkan.
Keteguhan terhadap komitmen tersebut didukung oleh begitu banyak fakta dan pengalaman bahwa olah raga yang dikelola dan dibina dengan baik akan mendatangkan banyak manfaat bagi warga masyarakat. Seperangkat nilai dan manfaat dari aspek sosial, kesehatan, ekonomi, psikologis dan pedagogis merupakan landasan yang kuat untuk mengklaim bahwa olah raga merupakan instrumen yang ampuh untuk melaksanakan pembangunan yang seimbang antara material, mental, dan spiritual.
Dari aspek sosial diakui bahwa olah raga merupakan sebuah aktivitas yang unik karena sangat potensial untuk memperkuat integrasi sosial. Secara bertahap dan bersusun dari unit kecil (misalnya, klub), komitmen emosional pada satu tujuan bersama dapat meningkat ke tingkat komunitas, masyarakat sebuah daerah hingga ke jenjang nasional. Itulah sebabnya olah raga, seperti yang sering kita alami dalam olah raga kompetitif, dipandang ampuh untuk membangun persatuan dan kesatuan nasional.
**
ANCAMAN yang dibangkitkan oleh gaya hidup pasif, mendatangkan persoalan yang sangat merugikan kehidupan manusia dengan aneka bentuk penyakit degeneratif, penyakit kurang gerak. Obesitas, alias kegemukan, sudah menjadi sebuah masalah internasional dengan rangkaian akibat yang terkait langsung seperti terserang penyakit jantung koroner, diabetes melitus, kolesterol tinggi, dan lain yang sejenis.
Olah raga dan kesehatan memiliki kaitan langsung dengan ekonomi. Kita dapat belajar dari pengalaman Australia. Di sana, kesehatan dan olah raga sudah mengakar. Setiap peningkatan partisipasi penduduk dalam berolah raga hingga 5% akan mengurangi anggaran perawatan kesehatan sebesar 439 juta dolar. Secara umum pernah diungkapkan oleh sebuah riset, bahwa investasi sebesar 1 dolar untuk aktivitas jasmani atau olah raga akan menghemat biaya perawatan kesehatan sebesar 3,2 dolar.
Dari aspek kejiwaan, olah raga atau aktivitas jasmani yang dilakukan hingga intensitas memadai, moderat, sangat efektif sebagai wahana untuk meningkatkan ketahanan terhadap stres dan menanggulangi depresi. Dari aspek ekonomi, data yang diperoleh misalnya dari Korea dan Australia menunjukkan prospek olah raga yang sangat positif untuk ikut serta meningkatkan ekonomi melalui beberapa segmen industri olah raga, di antaranya peralatan dan perlengkapan serta konstruksi fasilitas olah raga.
Melalui pendekatan pembelajaran keterampilan taktis misalnya, diketahui bahwa pendidikan jasmani dan olah raga efektif untuk membina keterampilan berpikir kritis dan kreatif. Karena itu, para peneliti sampai pada kesimpulan bahwa aktivitas jasmani atau olah raga sangat bermanfaat untuk memupuk kemampuan memecahkan masalah.
Tentunya kita sepaham bahwa pendidikan jasmani merupakan peletak dasar untuk segala aspek meliputi fisik, mental, intelektual, sosial, dan emosional spiritual. Kecakapan berolah raga di sepanjang hayat untuk mengisi waktu luang dengan kegiatan yang bermanfaat, memerlukan pembekalan keterampilan sejak awal. Kita dapat menilai seberapa jauh kultur olah raga sudah berkembang di suatu masyarakat atau negara bergantung pada kebiasaan mengisi waktu luang dengan aktivitas jasmani secara aktif. Dalam kaitan ini maka antara olah raga masyarakat (rekreasi), selalu ada interaksi dengan olah raga kompetitif-prestasi dalam suasana saling mendukung dan menunjang.
Dengan berdirinya Menpora sekarang ini, kegiatan utama yang perlu dilaksanakan ialah memperkuat kesisteman yang sudah dirintis dalam sejumlah wilayah kunci yang menjadi fokus pemecahan. Karena itu, sangat dibutuhkan sebuah dokumen yang kukuh tentang "Arah Strategis dan Manajemen Pembangunan Keolahragaan Nasional", yang kemudian berfungsi sebagai pemberi arah dan sekaligus sebagai alat untuk memantau perubahan dan perkembangan program.
Dalam pengembangan rencana strategis, perlu diperhatikan beberapa kaidah seperti prinsip inklusif yang menekankan keikutsertaan semua warga masyarakat melalui pemberian kesempatan dan akses untuk berolah raga. Perlu diupayakan lingkungan yang sehat dan aman, layanan yang mudah diperoleh, manajemen yang transparan, dan akuntabel serta penerapan sistem pengukuh berupa penghargaan dan penciptaan rasa aman di kalangan pelatih dan atlet.
Komitmen untuk melaksanakan dan menyepakati arah strategis pembangunan keolahragaan nasional itu diperkuat oleh komunikasi dan koordinasi, selain mesti terjamin sisi keberlanjutannya.
**
BERDASARKAN paparan singkat itu sangat jelas bahwa subsistem pendidikan jasmani atau olah raga pelajar/mahasiswa tidak boleh terbengkalai pembinaannya dan termasuk ke dalam kebijakan umum. Olah raga masyarakat (rekreasi) merupakan kegiatan "penyedap" dan penggairah dalam rangka membangun kembali vitalitas hidup. Kegiatan itu ikut serta membangun sebuah mood kejiwaan yang sehat.
Sama sekali tak dapat diabaikan perkembangan dan trend olah raga kompetitif untuk berprestasi meskipun ada ayunan perubahan yang mengarah kepada perolehan keuntungan yang bersifat material; ada pergeseran dari amateur ke profesional, paling tidak di tubuh Komite Olimpiade Internasional (IOC) yang dirintis semasa kepemimpinan Presiden IOC, Juan Antonio Samaranch.
Banyak negara, meski dengan jumlah penduduk sedikit, mampu berprestasi dalam olah raga, seperti yang diraih oleh Australia dalam Olimpiade Sydney 2000 dan Olimpiade Athena 2004. Jawabannya, sebagian karena faktor penentu berupa tingkat kepuasan hidup. Kemerosotan Rusia misalnya, lebih banyak karena keterbatasan dana untuk mengoperasionalkan sistem. Mereka bisa sekadar bertahan untuk memelihara sistem yang sudah mantap, tetapi sukar untuk mencapai hasil optimal karena faktor ekonomi.
Mungkin tanpa kita sadari, pada tataran lingkungan yang lebih luas ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap arah, isi dan bahkan cara mengelola olah raga. Sistem politik mempengaruhi model pembinaan dan institusi yang menanganinya. Sistem ekonomi memengaruhi struktur pembiayaan yang terkait dengan kemampuan kita mempertahankan kesinambungan sistem. Struktur pendidikan memengaruhi seberapa banyak peluang dan keterlaksanaan pendidikan jasmani yang menjadi dasar bagi perkembangan olah raga.
Jumlah penduduk berpengaruh terhadap jumlah anak dan kaum muda sebagai calon olah ragawan sehingga penduduk yang besar seperti di Indonesia merupakan sebuah aset yang luar biasa nilainya. Jadi dibutuhkan upaya, seiring dengan pendidikan, untuk mengubah faktor penduduk bukan sebagai beban tetapi sebagai modal. Tanpa aspirasi yang kental terhadap olah raga, maka suatu daerah sulit berkembang dalam olah raga.
Seberapa efektif mekanisme penelusuran dan promosi bakat telah dilaksanakan yang berarti kegiatan di klub usia dini dan olah raga di sekolahan merupakan tempat menyemai bibit-bibit. Komponen itu akan berkembang subur bila didukung oleh komponen pelatihan yang semakin membaik, seperti halnya struktur kompetisi yang semakin kuat ditinjau dari volume atau kekerapan pelaksanaan, termasuk kualitasnya.
Namun demikian, unsur pelatih termasuk kualifikasinya sangat menentukan. Pelatihan yang berbasis pengetahuan dan teknologi merupakan alternatif yang tak bisa ditawar-tawar. Adalah sebuah mimpi untuk tetap mempertahankan hegemoni (misalnya di kawasan ASEAN) atau menerobos prestasi olimpiade tanpa pelatih yang andal dan dukungan lab beserta para ahli pendukung terkait seperti biomekanika dan psikologi olah raga, selain aspek sport medicine.
Dari sisi struktur venues atau sarana dan prasarana olah raga, kita di Indonesia sangat lemah baik dari sisi jumlah maupun mutu, sehingga tidak memungkinkan untuk dapat dikembangkan standar pelatihan bermutu tinggi. Untuk bisa bersaing di tingkat internasional, sudah tak mungkin lagi pelatihan dilakukan secara sambil lalu atau paruh waktu. Model-model pelatihan mutakhir menuntut volume pelatihan yang besar dan penempatan pelatihan secara terpadu.
Atas dasar alasan inilah, Australia memiliki 8 sentra pelatihan, Spanyol 31, Prancis 21 dan AS yang berbasis pada sekolah dan universitas mendirikan "Olympic Training Camp" di Colorado.
Kita di Indonesia merintis pendirian sentra ini seperti pendirian Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar (PPLP) sebanyak 93 buah dan Pusat Pendidikan dan Latihan Mahasiswa (PPLM) sebanyak 15 buah yang tersebar di seluruh Indonesia.
Embrio dari pusat pelatihan daerah (PPLD) yang idealnya ada di setiap provinsi, juga masih memerlukan pembenahan. Konsep dasarnya ialah bagaimana mengintegrasi kegiatan pelatihan dan pendidikan secara serasi yang didukung oleh logistik.
**
TERSENTAK saya setelah bertemu Abdul Madjid, sprinter 100 meter dan 200 meter pada tahun 1960-an asal Kalimantan Selatan, ketika baru-baru ini saya mengantarkan ”uang tali asih” kepada mantan atlet pada fase pascaberprestasi. Ubannya memutih dan bentuk tubuhnya sudah berubah, bertambah gemuk.
Dalam usianya sudah mencapai 60 tahun, ia belum berkeluarga dan masih tinggal di rumah kontrakan. Untuk mencari nafkah ia menjual tenaganya sebagai buruh di Pelabuhan Tri Sakti. Masih banyak Madjid lainnya yang senasib. Tata latar inilah yang mendorong Ditjen Olah Raga pada dua tahun terakhir ini mengembangkan sistem penghargaan dalam bentuk program konseling karier atlet. Di Australia disebut program Pendidikan Karier Atlet (PKA). Motonya: Kita tak mampu memberi ikannya, tetapi hanya dapat memberi kailnya.
Itulah masalah yang masih tersisa dan tak akan pernah tuntas penyelesaiannya karena selalu terjadi perubahan dinamis. Saya berdoa Pak Menteri Pemuda dan Olah Raga diberi kekuatan untuk mengatasi masalah olah raga yang justru dapat mendatangkan maslahat bagi bangsa. Kita perlu memberikan dukungan yang tulus kepadanya beserta jajarannya***
(Rusli Lutan, Guru Besar UPI di Bandung dan President for Asian Society for Physical Education and Sport (ASPES) dengan kantor pusat di Seoul (Korea
Rabu, 05 Desember 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar